Pertanyaan pertama, apakah penyebab kecelakaan yang menewaskan semua penumpang dan kru yang terdiri dari 162 orang di low cost carrier itu karenafaktor cuaca atau faktor manusia (human error)?
Bahwa cuaca buruk di lintasan yang dilalui dari Surabaya menuju Singapura, hal itu rasanya tidak terbantahkan lagi.
Ada juga satu fakta, pilot AirAsia minta izin naik ke ketinggian untuk menghindari cuaca buruk. Izin tidak diberikan menara pengawas. Setelah itu, Airbus 320 itu hilang kontak.
Koran The Straits Times Singapura pada Rabu (31/12/2014) ini menampilkan grafis yang memperlihatkan posisi pesawat di jalur itu, sesaat sebelum kecelakaan terjadi.
AirAsia 8501 terbang di ketinggian 32.000 kaki, dan berada pada posisi paling rendah. Di atas AirAsia 8501 terdapat tujuh pesawat lain (lihat grafis).
Courtesy The Straits Time
Masuk akal kalau menara pengawas (ATC) tidak memberi izin ke pilot AirAsia 8501 untuk menambah ketinggian. Itulah titik awal penyelidikan.
Namun, dua pertanyaan lain menyusul. Pertama, mengapa AirAsia 8501 tetap diizinkan terbang padahal jalur penerbangan pada jam itu demikian padatnya? Cuaca juga merah di beberapa spot.
Kedua, mengapa (atau apakah boleh dibenarkan jika) AirAsia memajukan jadwal penerbangan dari semula pukul 08.00 pagi ke pukul 05.30 pagi?
Stasiun televisi CNN menyoroti pertanyaan kedua. Memajukan jadwal penerbangan ke jam yang sibuk dan pada saat cuaca buruk dianggap sebagai keputusan yang salah.
Masalahnya, seperti terlihat pada grafis, dalam kondisi cuaca buruk, pilot membutuhkan ruang manuver yang lebih besar dan lebih tinggi.
Hal itulah yang tidak diperoleh pilot berpengalaman dari AirAsia QZ8501. Cuaca buruk, pilot tidak memiliki ruang untuk menaikkan pesawat, dan jadwal dimajukan ke jam sibuk.
Beberapa hari ke depan, publik menunggu penjelasan yang lebih komprehensif mengenai apa yang terjadi.
Kecelakaan AirAsia bukan cuma soal AirAsia dan korban beserta keluarga.
Ini soal yang lebih besar: Apakah kita bisa menggantungkan nasib kita, nasib keluarga kita, pada pengelola industri penerbangan?
Apakah maskapai dengan penerbangan murah benar-benar memberi harga murah atau nyawa manusia yang dinilai murah?
Inilah inti soalnya: Seberapa kuat otoritas penerbangan dan pengelola low cost carrier berpihak pada nasib manusia? (Dahlan Dahi dari Singapura)
Oleh: Dahlan Dahi - Pemimpin Redaksi Tribunnews.com / Kompas.com
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !